Peran Fungsi Masjid di Garut Masih Sebatas Tempat Peribadatan
Garut Toleran - Pengaruh kegiatan pemakmuran/takmir dalam hal peribadatan pada kebanyakan masjid di Kabupaten Garut saat ini terhadap kehidupan pembinaan masyarakat maupun kehidupan berbangsa, dan bernegara ternyata masih rendah.
Kegiatan peribadatan berlangsung di kebanyakan masjid, mushala maupun langgar hanya memiliki korelasi 5,4 % dalam kehidupan pembinaan masyarakat, dan 25,9% dalam kehidupan berbangsa bernegara.
Kondisi tersebut terungkap berdasarkan hasil penelitian terhadap masjid, langgar, dan mushala tersebar di 42 kecamatan di Kabupaten Garut dilakukan Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LP2M) STAI Al Musadaddiyah Garut baru-baru ini.
“Apa sebabnya demikian? Apakah atsar (dampak) peribadatan belum terkoneksi dalam sikap perilaku jama'ah? Ini menarik. Perlu kajian lebih lanjut,” kata Ketua LP2M STAI Al Musadaddiyah Garut Rofiq Azhar saat berlangsung “Focus Group Discusstion Pemetaan Potensi dan Peningkatan Peran Mesjid sebagai Pusat Pengembangan Sosial Keagamaan dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara di Kabupaten Garut, “ di ruang dosen STAI Al Musadaddiyah Garut, Senin (19/12/16).
Rofiq memperkirakan pengaruh aktivitas peribadatan dijalankan kebanyakan kaum muslimin saat ini masih bersifat personal. Belum sampai pada hal-hal lebih luas bersifat fungsional atau kesalehan sosial. Keberadaan masjid, langgar, dan mushala pun masih terkesan dianggap sebatas tempat beribadah. Padahal fungsi dan peran masjid sebenarnya lebih luas lagi sebagai pusat peradaban.
Berdasarkan hasil penelitian, potensi masjid di Kabupaten Garut dari aspek idarah (manajerial), imarah (aktivitas takmir), dan riayah (pemeliharaan dan pengadaan fasilitas masjid) umumnya masih konvensional dan standar. Belum menjadi tumpuan peningkatan kapasitas menajemen dan keorganisasian masjid (DKM) sebagai pusat pengembangan sosial warga masyarakat dan keagamaan jamaah.
Peran masjid dalam upaya takmir masjid dari aspek ubudiyah (beribadah), tarbiyah (pendidikan), ijtimaiyah (sosial budaya), dan iqtishadiyah (sosial ekonomi) masih belum berimbang. Aspek kegiatan ubudiyah dan aspek silaturrahim (ijtimaiyah) mendominasi peran masjid. Sedangkan aspek pendidikan yang mencerdaskan dan pengembangan sosial ekonomi masih perlu ditingkatkan dalam melayani tuntutan kebutuhan warga masyarakat dan dinamika perubahan tantangan zaman.
Kendati potensi sarana prasarana dimiliki masjid di Garut umumnya cukup baik namun masih ada fasilitas yang belum memadai, seperti kebersihan dan transportasi.
Rofiq menyebutkan, dibutuhkan sistem administrasi, manajemen, dan organisasi masjid yang baik dan solid untuk bisa mengoptimalkan peran dan fungsi masjid tersebut. Optimalisasi peran masjid juga sangat bergantung pada seberapa besar potensi masjid dimilikinya, termasuk memadai tidaknya sarana prasarana tersedia.
Atas hasil penelitian tersebut, LP2M STAI Al Musadaddiyah merekomendasikan perlu ada tindaklanjut dalam pemodelan masjid di Garut sebagai upaya optimalisasi peran dan fungsi masjid sebagai pusat pengembangan sosial keagamaan dan kemasyarakatan. Stakeholder masjid, khususnya para takmir maupun penggerak masjid (DKM) perlu mendesain ulang peran dan fungsi masjid sesuai dengan fiqhul masajid yang menjadi benteng pembinaan umat dalam mewujudkan “kuntum khoiru ummah” (umat Islam umat terbaik).
Juga, para penentu kebijakan khususnya pemerintah daerah, Kemenag Garut, dan DPRD Garut seyogyanya dapat memosisikan masjid sebagai aset umat yang dapat dijadikan sebagai mitra strategis dalam pembangunan daerah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Berdasarkan data BPS Garut 2015, di Garut terdapat 1 Masjid Agung, 36 masjid besar kecamatan (6 kecamatan belum memiliki), 3.574 masjid jamik, 4.001 langgar, dan 2.646 mushala. Kecamatan Cisurupan memiliki masjid terbanyak 251 unit dengan jumlah penduduk 95.763 jiwa, dan Kecamatan Cibalong hanya memiliki 11 masjid dengan penduduk 40.217 jiwa. Kecamatan Banjarwangi memiliki langgar terbanyak 405 unit, sedangkan Kecamatan Garut Kota memiliki jumlah mushala terbanyak 343 unit.
Akan tetapi sasaran penelitian sendiri terfokus pada 5 masjid besar kecamatan sebagai cluster model pemberdayaan masyarakat (jamaah masjid), 50 masjid jamik pada masing-masing masjid besar kecamatan se-Garut, 60 pengurus DKM, 30 tokoh masyarakat masjid, perwakilan pemerintah, Kementerian Agama, ormas Islam, DKM, akademisi, profesional, dan sesuai tuntutan kebutuhan program.
Metode Penelitian digunakan metode participatory action research (PAR) melalui pendekatan kualitatif deskriptif analisis, dengan teknis pengumpulan data digunakan analisis dokumen, observasi, wawancara, FGD, dan kuesioner, serta data sekunder kepustakaan .
Ketua I STAI Al Musadaddiyah Saik Abdillah menambahkan perlu dicari formulasi tepat untuk bisa mengoptimalkan peran dan fungsi masjid seharusnya sesuai dicontohkan Rasululloh SAW pada era sekarang. Sebab kini, peran dan fungsi masjid banyak tereduksi dan terdistribusi lembaga lain yang lebih profesional sebagai akibat perkembangan kehidupan modern.
“Masih aktualkah peran dan fungsi masjid sebagai pusat peradaban ? Indikator kemakmuran masjid saat ini kan baru sebatas ramainya shalat berjamaah. Tapi itu juga bagus,” ujarnya. (inilahkoran)
Tidak ada komentar